Nabi Muhammad saw. lahir dalam keadaan
yatim. Ayahnya Abdullah meninggal ketika beliau masih dalam kandungan. Pada
usia enam tahun, ibunya juga meninggal. Beliau menjadi yatim piatu.
Kehidupannya yang keras menempa beliau menjadi manusia pilihan. Sikap umat Islam
harus sesuai dengan apa ya dicontohkan
oleh Nabi Muhammad saw.
Kelahiran
Nabi Muhammad saw. didahului
oleh peristiwa serangan pasukan gajah. Oleh karena itu, masyarakat Arab
menyebutnya tahun kelahiran Nabi Muhammad saw dengan sebutan tahun
gajah. Abdullah,
meninggal dalam usia 25 tahun dan dimakamkan di Darun Nadwah al-Ja’dy.
Abdullah meninggalkan warisan berupa lima ekor unta, sekumpulan domba
dan seorang budak wanita. bernama Ummu Aiman. kelak Ummu Aiman ini yang
mengasuh Muhammad kecil (Sahih Muslim/II/1392).
A.
KELAHIRAN
NABI MUHAMMAD SAW.
Nabi Muhammad saw. adalah anggota
kabilah bani Hasyim. Kabilah ini memiliki kedudukan yang mulia di kalangan suku
Quraisy. Kakek Nabi Muhammad saw. bernama Abdul Muthalib yang merupakan salah
satu kepala suku dari suku Quraisy. Beliau memegang jabatan siqayah pengawas
sumur Zam-zam. Tugas dari seorang siqayah adalah menyediakan air yang
disediakan untuk para pengunjung ka’bah. Oleh karena itu Abdul Muthalib menjadi
orang yang sangat berpengaruh dikalangan suku Quraisy. Walaupun demikian, Bani
Hasyim merupakan kabilah yang sederhana. Mereka tidak sekaya kabilah-kabilah
lain dalam suku Quraisy.
Ayah Nabi Muhammad saw. bernama Abdullah
bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qusay bin Kilab bin Fihr (Quraisy).
Sedangkan ibunya bernama Aminah binti Wahab bin Abdu Manaf bin Zuhroh bin Qusay
bin Kilab bin Fihr (Quraisy). Abdullah meninggal dunia ketika mengikuti kafilah
berdagang ke Syam. Ia jatuh sakit dan meninggal dunia di Yatsrib. Peristiwa itu
terjadi tiga bulan setelah Abdullah menikah dengan Aminah binti Wahab. Baik
dari garis keturunan ayah maupun ibunya Nabi Muhammad saw. merupakan keturunan dari
Nabi Ismail as. bin Nabi Ibrahim as.
Tidak lama setelah peristiwa itu
serangan pasukan gajah, Aminah binti Wahab melahirkan seorang anak laki-laki
dan diberi nama Muhammad. Beliau lahir
pada malam menjelang dini hari di hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awal tahun
gajah. Atau bertepatan dengan tanggal 20 April 571 Masehi.
Pagi harinya, Abdul Muthalib datang ke
rumah Aminah setelah mendengar kabar kelahiran cucunya, dan diangkatlah cucunya
itu, diciumnya didekapnya, lalu diajak thawaf mengelilingi Ka’bah, dan masuk
kedalam Ka’bah seraya berdoa dan bersyukur kepada Allah swt. Sepekan kemudian,
Abdul Muthalib mengadakan selamatan. Semua orang Quraisy hadir dan turut
bergembira. Pada saat itulah, Abdul Muthalib memberinya nama “Muhammad” artinya
orang yang terpuji. Abdul Muthalib berharap agar cucunya menjadi orang yang
terpuji di dunia maupaun di akhirat.
B.
MUHAMMAD
DALAM MASA ASUHAN
Menurut kebiasaan
Bangsa Arab, anak-anak yang baru lahir disusukan kepada wanita desa. Sebab
udara desa masih segar dan sejuknya alami. Udara yang bersih sangat baik untuk
perkembangan anak. Disamping itu, pergaulan masyarakat desa pun sangatlah baik,
rendah hati, sopan dan santun. Penduduk Makkah berharap anak-anak mereka dapat
tumbuh dengan sehat dan memiliki sopan santun yang baik. Selain itu, anak-anak
akan lebih fasih dalam berbahasa apabila mereka tinggal di desa. Demikian juga
dengan Muhammad kecil.
Ketika Muhammad lahir, ibu-ibu dari Desa
Sa’ad datang ke Makkah. Mereka menghubungi keluarga-keluarga kaya yang memiliki
anak bayi dan ingin menyusukan anaknya. Desa Sa’ad terletak di daerah
pegunungan sehingga udaranya tidak terlalu dingin dan tidak terlalu panas.
Ibnu Ishaq berkata,
“Rasulullah saw. disusui wanita dari Sa’ad bin Bakr yang bernama Halimah binti
Abu Dzuaib. Nama lain dari Abu Dzuaib adalah Abdullah bin Al-Harts bin Synijnah
bin Jabir bin Rizam bin Nashirah bin Fushaiyyah bin Nashr bin Sa’ad bin Bakr
bin Hawzin bin Mansur bin Ikrimah bin Khashafah bin Qais bin Ailan. Nama ayah
susuan Muhammad saw. adalah Al-Harts bin Abdul Uzza bin Rifa’ah bin Mallan bin
Nashirah bin Fushaiyyah bin Nashr bin Sa’ad bin Bakr bin Hawzzin”.
Halimah As-Sa’diyyah berkata,
“Tahun tersebut adalah tahun kering dan tidak ada sedikit pun tersisa untuk
kami. Kemudian kami berangkat dengan mengendarai keledaiku yang berwarna putih
dan unta tua yang tidak menghasilkan susu setetes pun. Kami semua tidak bisa
tidur pada malam hari karena anak-anak kecil yang ikut bersama kami menangis
karena lapar, air susu tidak mengenyangkannya, dan unta tua kami tidak
mempunyai susu yang mengenyangkannya. Namun kami tetap mengharap mendapat
pertolongan dan jalan keluar. Aku berangkat dengan mengendari keledai. Sungguh
aku lama sekali dalam perjalanan hingga semakin menambah kelaparan dan
kelelahan mereka. Itulah yang terjadi hingga kami tiba di Makkah kemudian
mencari anak-anak yang bisa kami susui”.
“Setiap wanita dari kami pernah ditawari
menyusui Muhammad kecil, namun semuanya menolak, sebab telah diberitahu sebelumnya
bahwa beliau adalah anak yatim, sedang kami mengharap imbalan yang banyak dari
ayah si anak.
“Semua dari kami berkata, “Anak yatim? “
Apa yang bisa dikerjakan ibunya dan kakeknya? Kami tidak mau mengambilnya
karena sebab tersebut. Setiap wanita telah mendapat anak susuan kecuali aku.
Ketika kami sepakat untuk pulang, aku berkata kepada suamiku, “Demi Allah, aku
tidak sudi pulang bersama teman-temanku tanpa membawa anak yang bisa aku susui.
Demi Allah, aku akan pergi kepada anak yatim tersebut dan mengambilnya. Suamiku
berkata, “Engkau tidak salah kalau mau melakukannya, mudah-mudahan Allah
memberi keberkahan kepada kita dengan anak yatim tersebut.
Harapan Halimah dan
suaminya menjadi kenyatan. Muhammad dalam asuhan keluarga miskin itu membawa
berkah tersendiri. Kambing yang mereka pelihara menjadi gemuk-gemuk an
menghasilkan susu yang lebih banyak. Rumput yang digunakan untuk menggembala
kambing juga tumbuh subur. Kehidupan keluarga Halimah menjadi cerah dan penuh
kebahagiaan.
Dalam masa kanak-kanak, Muhammad kecil
telah menunjukkan tanda–tanda kenabian. Ia sangat berbeda dengan ank-anak
lainnya. Pada usia 5 bulan, ia sudah pandai berjalan. Pada usia 9 bulan, ia
sudah fasih berbicara. Pada usia 2 tahun ia sudah bisa dilepas untuk menggembala
kambing bersama anak-anak Halimah. Pada usia itu, ia berhenti menyusu.
Saatnya pun tiba bagi Halimah untuk
mengembalikan Muhammad kecil pada ibunya walau dengan berat hati meskipun
sebenarnya ia sangat ingin Muhammad selalu bersamanya. Halimah harus berpisah
dengan anak asuh yang selama ini membawa berkah bagi dirinya dan keluarganya. Dan
Aminah sangat senang melihat putranya dengan keadaan sehat dan bugar. kejadian
pembelahan dada yang dilakukan oleh Malaikat Jibril kepada Rasulullah (baca kisah pembelahan dada) membuat
Halimah khawatir sehingga dia mengembalikan kepada ibunya.
Perpisahan Halimah dengan Muhammad kecil
tidak berlangsung lama. Kota Makkah diserang wabah penyakit. Dan untuk menjaga
keselamatannya, Aminah mengembalikan Muhammad kecil kepada Halimah. Dalam masa
asuhannya kali ini, Halimah dan anak-anaknya sering menemukan keajaiban pada
diri Muhammad kecil. Anak-anak Halimah sring mendengarkan suara orang
memberikan salam kepada Nabi Muhammad saw. Pada saat ini, anak Halimah yang
bernama Dimrah pulang dari bermainnya sambil menangis. Ia berkata bahwa ada
orang yang menangkap Muhammad. Orang itu besar-besar dan berpakaian
putih-putih.
Mendengar penuturan anaknya, Halimah segera
bergegas untuk menyusul Muhammad kecil. Sesampainya disana, ia menjumpai
Muhammad tengah sendirian menengadah ke langit. Setelah ditanya oleh Halimah, Muhammad
berkata “Ada dua Malaikat turun dari langit. Mereka memberikan salam kepadaku. Kemudian
mereka membaringkanku, membuka bajuku, membelah dadaku dan membasuhnya dengan
air yang mereka bawa. Mereka lalu kembali menutup dadaku. Aku tidak merasa
sakit dan tidak ada bekasnya. Kedua malaikat iu baru saja terbang keangkasa”. Sejak
kejadian itu, Halimah merasa takut, merasa tidak mampu lagi mengasuh Muhammad
kecil.dan pada usia 4 tahun, Halimah mengembalikan Muhammad kecil pada ibunya
Aminah.
Sesampainya di Makkah, Abdul Muthalib
menyambut kedatangan Muhammad dengan rasa
haru dan duka. Selama 6 tahun Muhammad kecil hidup bersama ibunya. Aminah
merasa perlu untuk mengenang suaminya yang telah wafat. Maka bersama putranya
Muhammad yang disertai dengan pembantu wanitanya Ummu Aiman, berziarah ke makam
suaminya di Yatsrib yang jaraknya 500 km dari Mekah. Setelah satu bulan di
Madinah, yang masih bernama Yatsrib, Aminah kembali ke Mekah. Dalam permulaan
perjalanan Aminah menderita sakit. Penyakitnya semakin parah hingga singgah di
Abwa, sebuah kota antara Mekah dan Madinah. Di tanah Abwa itulah ibunda
Rasulullah Saw meninggal dunia dan dimakamkan disana.
Abdul Muthallib merasakan kasih
sayangnya kepada Muhammad semakin menebal. Menyaksikan cucunya yang yatim piatu
harus menanggung kesedihan. Semakin besar kecintaannya, sampai-sampai dia
pernah merasakan kecintaan seperti itu, bahkan terhadap anaknya sekalipun. Dia
tidak ingin meninggalkan Rasulullah sebatang kara, bahkan dia lebih
mengutamakan cucunya daripada anak-anaknya sendiri.
Dua tahun kemudian Abdul Muthallib
meninggal dunia pada saat Rasulullah berusia 8 tahun 2 bulan 10 hari, di
kota Mekah. Sebelum wafat dia mengamanatkan pengasuhan cucunya kepada pamannya,
yakni Abu Thalib, dan hanya Abu Thaliblah yang menyerupai kakeknya. Abu Thalib
melaksanakan hak anak saudaranya dengan penuh hati dan menganggapnya sebaga
anak sendiri. Bahkan seperti halnya kakeknya, dia pun mendahulukan Rasulullah
Saw daripada putra-putranya.